Wawancarai dengan Widdi Aswindi, mantan Ketua Satgas ITB, kelompok yang bersama-sama Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) dan Universitas Siliwangi (Tasikmalaya) mendesak dan mengorganisasikan ‘Pertemuan Ciganjur ’. Berikut petikannya.
Sumber : http://www.tempointeractive.com/harian/fokus/37/2,1,10,id.html
Omong-omong, apa sih latar belakang Pertemuan Ciganjur dulu?
Pada saat itu, 1998 dulu, kesalahan Indonesia sudah sangat sistemik. Sudah bukan lagi kesalahan-kesalahan perorangan, tapi sudah jadi sebuah kesalahan sistem. Harus ada proses di mana kita semua sadar (akan) kesalahan-kesalahan itu dan kita harus bergerak dari titik nol. Jauh sebelum Soeharto turun, sebuah grand design akan apa yang harus dilakukan setelah Soeharto jatuh itu sudah dipikirkan oleh teman-teman di ITB. Kita ingin, kekuatan-kekuatan yang menjadi basis kuat di masyarakat harus ketemu, karena kalau kita berbicara dengan lembaga-lembaga resmi dalam sistem, tentu hanya akan menguntungkan rezim. Kalau kita bicara di DPR, kalau kita bicara di MPR, percuma. Makanya kita ingin yang ada di luar sistem.
Konsepsi dialog nasional yang semula, tadinya tidak seperti itu (Deklarasi Ciganjur, red), tadinya selain empat orang itu, masih ada Uskup Belo (pemimpin keagamaan di Timor Timur, red), bahkan kita juga undang Wiranto (saat itu Menhankam/Panglima ABRI, red) dan Habibie (saat itu Presiden, red) di lingkaran pertama. Seharusnya ada lingkaran kedua yang meliputi pakar-pakar, kemudian masyarakat dan sifatnya terbuka. Tempatnya kita ingin di gedung besar, (jadi) semacam rapat rakyat. Intinya cuma satu, bagaimana keluar dari krisis dan sama-sama sadar bahwa attitude kita selama ini adalah attitude orang-orang brengsek, baik elit maupun masyarakat. Tapi, pada prakteknya kan tidak seideal itu. Kita punya banyak sekali keterbatasan, mahasiswa saja tidak semuanya satu pendapat. Makanya kita berusaha mensosialisasikan ide ini. Hampir semua mahasiswa sudah tahu. Bahkan luar Jawa pun kita kirim surat.Jadi, sebenarnya apa yang dimaui mahasiswa?
Intinya, waktu itu kita krisis kepemimpinan nasional. Dan kita sama sekali tidak punya mekanisme yang cukup legitimate untuk menjamin kepemimpinan nasional itu terus berlangsung dengan baik. Apalagi dalam masa krisis dan panas seperti itu ‘kan ? Bahkan prosesnya pun harus seperti sebuah konsensus yang menempatkan sikap kenegarawanan itu di depan. Makanya yang kita launching waktu itu, kita butuh pemimpin yang sifatnya kenegarawanan, kita tidak butuh pemimpin pintar, hanya butuh pemimpin kenegarawanan yang menjaga amanah, cerdik mengakali bagaimana Indonesia bisa keluar dari krisis, orang yang benar, dan dia juga orang yang track recordnya tidak terlalu jelek-lah!Lalu bagaimana mendekati tokoh-tokoh itu ?
Kita tidak ingin menyingkirkan rezim lama dengan cara kasar, misalnya dengan meludahi, makanya kita juga undang Habibie dan Wiranto. Tapi kita mau mereka menyetujui platform tuntutan yang sudah kita buat. Kenyataannya, mereka menolak menyetujui. Kasarnya, begitu. Waktu itu Wiranto bersikeras supaya ABRI (kini TNI) berada di balik pemerintahan yang sah. Padahal, pada saat itu kesahan pemerintahan juga diragukan.
Tapi kita ambil keputusan, kita jalan terus. Yang menjadi persoalan waktu itu adalah bagaimana memunculkan suatu blok baru dalam kepemimpinan nasional, yang harus kepemimpinan sipil. Tahu sendiri bahwa kultur Indonesia adalah kultur kepemimpinan elit. Bahkan pertentangan di tingkat horizontal pun diatur oleh elit. Saat itu, tidak ada satu pun elit yang sadar untuk berbicara dalam konteks nasional. Semuanya berbicara dengan semangat oportunis. Kebutuhan yang mendesak itu, ditambah dengan akan digelarnya Sidang Istimewa yang hanya akan berfungsi melegitimasi rezim dan membuat kita semua makin jauh dari proses demokratisasi, itulah yang harus segera dikejar.Seberapa dekat kalian dengan tokoh-tokoh yang diundang itu?
Tidak ada. Tidak ada sama sekali! Semua yang dilakukan adalah sebuah proses besar. Dulu, rekan Satgas ITB kita, Charlie, yang berusaha mencegat di tangga pesawat Sultan (Hamengkubuwono X), kemudian bagaimana dia berusaha masuk dalam rapat Gubernur se-Indonesia, lalu ... bagaimana dia ‘nongkrongin rumah Sultan jam 4 pagi. Terus, Megawati, bagaimana dia ‘dipotong’ pada saat sedang pidato di Bogor oleh Peyi dari FKSMJ. Terus bagaimana kita sempat berusaha menduduki rumah Megawati. Itu semua, prosesnya tidak seperti sekarang. Sebetulnya, saya bersyukur kalau mereka mau bertemu atas dasar keinginan masing-masing. Kalau dulu, kita harus paksa-paksa dan rumitnya minta ampun.Mereka setuju dengan platform yang kalian ajukan?
Ya, mereka setuju. Bahkan pada akhirnya, lima poin yang kita ajukan, termasuk penghapusan dwifungsi ABRI dan adili Soeharto ditambah dengan masalah PAM Swakarsa dan satu lagi, apa ya ..lupa. Sampai hari ini saya melihat, pertemuan Ciganjur dulu itu strategis, karena terbukti ‘kan, kita tidak punya tokoh lain.Pemilihan lokasi di Ciganjur sudah merupakan setting juga?
Tidak, semula adalah seperti yang saya katakan tadi. Kita ingin tempat yang besar. Kita pernah survey lho .. ke Istana Bogor, ke Istana Cipanas, bagaimana caranya menguasai gedung-gedung ini, terus juga Istana Batu Tulis-nya Soekarno, terus Gedung Merdeka, Bandung, ... pokoknya tempat-tempat yang memiliki nilai ritual sejarah supaya kita mudah memberikan back ground ke publik.
Tapi, Gus Dur yang jadi tokoh undangan, kena stroke dan saat itu dia sudah tiga kali stroke. Sudah keluar-masuk (rumah sakit). Jadi, kita tidak punya pilihan lain, Gus Dur stroke dan kita hanya me-lobby Amien (Rais) supaya mau berbesar hati datang, dan juga Mega dan Sultan. Itu tidak dalam pengertian posisi Gus Dur lebih tinggi dari yang lainnya.
No comments:
Post a Comment